Sabtu, 07 Januari 2012

Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan

Selama ribuan tahun, penduduk asli di berbagai pelosok muka bumi telah mengembangkan praktik-praktik tradisional untuk melestarikan alam. Praktik-praktik tradisional inilah yang kemudian dikenal dengan kearifan lokal (local wisdom). Fenomena kearifan lingkungan yang berbasiskan masyarakat ini menurut Witoelar, seperti yang dikutip oleh Majalah Sabili sudah ada sejak zaman pra-sejarah dulu. Menurutnya, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya.
Kearifan lokal ini dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Perilaku ini pun berkembang menjadi sebuah kebudayaan yang hidup di suatu daerah dan berkembang secara turun-temurun.
Baduy
Baduy, jika mendengar kata ini pasti pikiran kita langsung tertuju pada suku yang primitif, miskin dan konservatif. Namun, mereka memiliki karifan lokal dalam mengelola lingkungannya. Di Baduy banyak hunian pendudukan berdekatan dengan sungai, tetapi tidak terjadi bencana banjir melanda permukiman. Hal ini karena masyarakat Baduy memiliki metode pengelolaan alam khususnya hutan di kawasan Bumi Baduy.
Ignas Triyono, Pemenang Terbaik Kategori Umum Lomba Opini Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat menulis dalam Belajarlah Lingkungan Hidup ke Bumi Baduy. Tanah di Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan; yaitu sebagai lahan perladangan, permukiman, serta hutan lindung. Suku Baduy mempunyai areal yang dijadikan hutan lindung. Hutan lindung berfungsi sebagai areal resapan air. Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang. Hutan ini juga membantu menjaga keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di Baduy Dalam.
Kesadaran masyarakat Baduy terhadap lingkungan hidup, khususnya dalam menjaga kelestarian hutan dan air sungguh luar biasa. Ada di sana ada pikukuh (adat yang kuat) yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satu pikukuh itu berbunyi
Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang diruksak, Larangan teu meunang dirempak, Buyut teu meunang dirobah, Lojor teu meunang dipotong, Pondok teu meunang disambung
(Gunung tidak boleh dihancurkan, Lembah tidak boleh rusak, Larangan tidak boleh langgar,Amanat tidak boleh dirubah, Panjang tidak boleh dipotong, Pendek tidak boleh    disambung)
Makna pikukuh itu antara lain tidak mengubah sesuatu, atau dapat juga berarti menerima apa yang sudah ada tanpa menambahi atau mengurangi yang ada. Insan Baduy yang melanggar pikukuh akan memperoleh ganjaran adat dari puun (pimpinan adat tertinggi) seperti dikeluarkan dari kelompoknya.. Pengamalan pikukuh yang taat menyebabkan masyarakat Baduy memiliki kearifan dalam berhubungan dengan alam.
Harim Zone
Salah satu kearifan yang berasal dari ajaran agama adalah harim zone. Fachruddin Mangunjaya penulis buku Khazanah Alam: Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi seperti yang dikutip oleh Majalah Sabili mengatakan bahwa, harim zone mewajibkan setengah dari lebar sungai ke kiri dan ke kanan, terbebas dari bangunan dan membiarkan vegetasi serta tumbuhan bebas sebagai penyangga sungai. ”Selain itu, hal ini untuk membuat daerah resapan sungai. Di zaman Rasulullah pendirian bangunan di bantaran sungai dilarang untuk memelihara ekstensi air,” jelasnya. Tradisi ini dihidupkan kembali sebagai sumbangan pada pemeliharaan lingkungan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Kearifan dari Sangga Buana di Kali Pesanggrahan
Jakarta pun memiliki daerah sungai yang dikelola dengan baik oleh masyarakat, yaitu Kali Pesanggrahan. Di lahan seluas 40 hektar, kelompok tani Sangga Buana  pimpinan Chaerudin atau yang biasa di sapa bang Idin menanam lebih dari 60 ribu tanaman buah dan pohon langka seperti Buni, Jamblang, Kirai, Mandalka, Krowokan, dan Bisbul. Penanaman sejak dua puluh tahun lalu, dimana isu lingkungan belum menjadi perhatian banyak orang.
Bersama kelompok ini, Bang Idin bisa konservasi hutan, hingga ribuan kepala keluarga di kawasan Kali Pesanggrahan bisa menikmati hasilnya. Selain itu, dengan kondisi sungai yang bagus membuat warga di Kali Pesanggrahan melakukan ternak ikan. Mereka bisa memanen Ikan Mas, Mujair atau Gurame sebanyak satu ton dalam seminggu. Hasil panen ikan yang dibudidayakan secara bersama-sama juga bebas untuk dikonsumsi langsung atau dijual.
Epilog
Kehidupan masyarakat Baduy maupun hutan konservasi buah tangan Bang Idin bersama Kelompok Tani Sangga Buana yang kini menjadi hutan tropis percontohan di tengah kota. Merupakan contoh dari pengelolaan lingkungan yang bersandar pada kearifan lokal. Tentu kita bisa mengambil pelajaran dari mereka untuk mulai mengelola lingkungan sekitar sungai dengan lebih baik.
Kita bisa menerapkan ketiga kearifan lokal di atas untuk memperbaiki kualitas sungai di kota-kota besar. Baduy yang terletak di pegunungan adalah contoh untuk pengelolaan lingkungan di daerah hulu. sedangkan harim zone untuk daerah bantaran sungai dari hulu hingga hilir. Sedangkan yang dilakukan oleh bang Idin adalah untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar sungai agar masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai mau menjaga lingkungannya dengan baik karena jika kondisi sungainya baik bisa dimanfaatkan untuk pertanian maupun perikanan serta bisa diolah mejadi bahan baku air minum.
Kita harus mulai dari sekarang karena bagaimanapun juga sungai memiliki peran sentral dalam menungjang kehidupan manusia, terutama masalah sanitasi dan ketersediaan air untuk kehidupan kita. Jika kita tidak peduli dan masih hidup dengan gaya merusak lingkungan, maka bukan mustahil bencana yang jauh lebih besar dan berat akan mengancam kita di kemudian hari. Akhir kata, jika masyarakat yang kita anggap terbelakang seperti Baduy saja bisa mengelola lingkungannya dengan baik, kenapa masyarakat yang berpendidikan dan lebih modern tidak mampu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar