Sabtu, 07 Januari 2012

Antara Mall dan Kesejahteraan Masyarakat, Apakah ada Hubunganya ?


Ilustrasi Mall (foto : Istimewa)
Jakarta - Beberapa hari lalu, sembari ada urusan keluarga, penulis mencoba untuk mengitari beberapa lokasi penting di dua wilayah DKI Jakarta: Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Dua kotamadya ini memiliki karakteristik sangat bertolak belakang:Jakarta Utara (Jakut) yang dibangun untuk menopang basis transportasi industri yang berasal dari pelabuhan Tanjung priok, serta Jakarta Pusat (Jakpus) yang dibangun dengan metode full of shopping and business.
Dengan pola pembangunan seperti ini, wajar jika kita agak sulit menemukan industri-industri dengan segala perangkat pendukungnya, bertebaran di Jakpus. Sebaliknya, di Jakut, meski ada beberapa pusat-pusat perbelanjaan, namun secara kuantitas dan kualitas tak lebih memadai ketimbang yang ada di Jakut. Jakut 13, dan Jakpus 20 pusat perbelanjaan.
Penulis mencoba memahami lebih dekat bagaimana dua wilayah ini memainkan basis perekonomiannya, based on spot-spot dimana terdapat perbelanjaan terbesar berlokasi. Kelapa Gading dengan MKG-nya, Cempaka Putih dengan ITC-nya, Senen dengan Pasar Senen-nya, dan Tanjung Priok dengan beberapa ragam pasarnya (Pasar Permai, Pasar Sindang, Pasar Ular, dan sebagainya).
Meski sudah sekitar 20 tahun penulis tinggal di wilayah ini, tapi penulis masih heran dengan fenomena yang terjadi. Penulis bertanya Apa efek dari banyaknya pusat perbelanjaan tersebut bagi peningkatan kesejahteraan  masyarakat Jakarta di dua wilayah ini? Adakah atau jangan-jangan malah semakin memperkuat yang kaya dan makin memperlemah yang miskin?
Relasi oposisi biner ini penulis jadikan sebagai kacamata dalam melihat efek dari maraknya pusat perbelanjaan di Jakarta. Terlebih yang ada di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat. Relasi antara pengusaha yang memegang kendali perekonomian dengan warganya yang bekerja untuknya. Relasi antara seorang ”buruh” dengan ”majikan”. Relasi antara mereka yang ”not have” dengan yang ”the have”. Sehingga, kacamata ini akan menentukan apa kehadiran kelas atas yang sangat dominan perannya – bukan kuantitasnya – di Jakarta, mempunyai pengaruh signifikan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat pada umumnya versi HDI (kesehatan, ekonomi, dan pendidikan) ataukah tidak.
Antara “Gula” Pusat Belanja dan “Semut” Penduduk
Saat ini, menurut Edo Rusyanto dari suarajakarta.com, Jakarta sudah memiliki 564 pusat perbelanjaan yang tersebar di seluruh penjuru ibukota. 132 diantaranya adalah yang berbentuk mall, serta 432 sisanya masuk dalam kategori hipermart, pusat grosir, pertokoan, pasar tradisional, dan swalayan. Bahkan dari jumlahnya yang luar biasa itu, 2011 ini pun sudah siap berdiri 9 Mall baru yang sudah mengantongi izin dan tidak terkena kebijakan Moratorium Mall 2012. Karena sejatinya Moratorium itu adalah Moratorium Izin, bukan Moratorium Pembangunan dari mulai izin hingga pendirian.
Besarnya jumlah pusat perbelanjaan tersebut tak ayal membuat Jakarta menjadi kota terbanyak di dunia yang memiliki Mall. Bahkan Planolog Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, lebih berani mengatakan bahwa sudah ada 170 Mall lebih yang ada di Jakarta. Maka, jika luas wilayah DKI Jakarta hanyalah 740,3 KM2, maka di tiap 1,3 KM kota Jakarta berdirilah sebuah pusat perbelanjaan. Wow! Jakarta kian konsumtif. Ekonomi kreatif semakin terkikis.
Di antara ratusan pusat perbelanjaan tersebut, beberapa diantaranya tersebar di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Dari 13 yang terbesar di Jakut, 4 diantaranya adalah ITC Mangga Dua, Mall Kelapa Gading I dan II, Mall of Indonesia, dan WTC Mangga Dua. Serta dari 20 pusat perbelanjaan yang ada di Jakarta Pusat, ada beberapa yang terbesar yaitu ITC Cempaka Emas, Plaza Senayan Grand Indonesia, dan Pasar serta Atrium Senen. Maka, kalaulah Jakarta tiap tahun penduduknya bertambah 2 juta kali lipat, itu adalah suatu keniscayaan. Tak bisa dinafikan. Karena pada prinsipnya, semutlah yang mendatangi gula. Dan selama gula-gula itu terus diperbanyak, baik kuantitas serta kualitasnya, maka mimpi agar Jakarta lebih tertata persoalan kependudukannya hanyalah sebuah mimpi. Utopi.
Persoalan maraknya pusat perbelanjaan ini sama seperti persoalan kependudukan di Jakarta: grafiknya selalu naik.Hanya persentase angka-nya saja yang berbeda. Kenaikan ini bisa dibuktikan dari data BPS yang mencatat ada kenaikan 1,4 % (135 ribu jiwa) per tahun jumlah penduduk Jakarta. Jaktim salah satunya adalah wilayah yang paling terpadat dihuni: 2.687.027 jiwa (lintasjaktim.blogspot.com). Bahkan angka rata-rata pertumbuhan penduduk Jaktim menembus level 2,4% per tahun, lebih tinggi ketimbang pertumbuhan rata-rata penduduk Jakarta pada umumnya. Meski, berada di urutan paling bawah, pertumbuhan penduduk di Jakut pun dari tahun 2000- 2010 tetap menunjukkan angka yang besar: 1,4% per tahun.
Maka, dua persoalan sekaligus antara jumlah penduduk dengan pusat perbelanjaan yang terus meningkat ini bukanlah persoalan yang sederhana Dua variabel persoalan Jakarta ini resiprokal. Saling mempengaruhi. Bisa jadi karena banyaknya ”gula” pusat-pusat ekonomi seperti ini, yang mengundang banyaknya ”semut” penduduk untuk bertarung mencari makan di Jakarta. Pun sebaliknya. Namun, yang menjadi titik persoalan sebenarnya bukan pada sisi resiprokalitas tersebut, tapi bagaimana kemudian pusat-pusat perbelanjaan tersebut mampu memberikan efek peningkatan kesejahteraan (pendidikan, kesehatan, ekonomi) bagi masyarakat kelas bawah di Jaktim dan Jakut.  Adakah efeknya? Inilah yang akan menjadi tema sentral penulisan opini ini.
Dibalik Data Kesejahteraan Masyarakat Jakarta
Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) menyebutkan bahwa ukuran kesejahteraan bukan hanya diukur dari persoalan ekonomian sichJika objek kajiannya adalah institusi politik seperti negara (pemerintah), maka persoalan kesejahteraan bukan sekadar berapa GDP, pendapatan per kapita, dan sebagainya. Tapi, ukurannya berasal dari pendidikan (tingkat baca tulis pada orang dewasa dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, dan atas), kesehatan (angka harapan hidup saat kelahiran), dan ekonomi (GDP dalam paritasi daya beli).
Dengan demikian, kajian singkat tentang efek pusat perbelanjaan untuk memenuhi kesejahteraan hidup masyarakat ini dapat diukur dari 3 aspek di atas. Seraya melihat, apakah kehadiran maraknya pusat perbelanjaan tersebut sebenarnya lebih berpihak kepada siapa? Dan dengan mekanisme seperti apa yang dibangun antara 3 institusiGovernance – bukan government – untuk mempersempit gap antara Si Kaya dan Si Miskin ini?
Secara sekilas dalam sudut pandang ekonomi, memang patut diacungi jempol bahwa Pemprov DKI Jakarta dalam periode 2007-2012 ini telah berhasil menurunkan tingkat pengangguran dari 12, 15% menjadi 11,05%, serta mampu menurunkan jumlah penduduk miskin 3,6% menjadi 3,48% (okezone.com, 27 April 2011). Secara HDI pun, Jakarta tetap berada di peringkat 1 dari 33 Propinsi di Indonesia. Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa di kuartal II tahun 2011 ini, tingkat kesejahteraan masyarakat Jakarta di kawasan Jabodetabek terus membaik seiring dengan peningkatan pendapatan rumah tangga penduduknya. Indeks tendensi konsumen (ukuran belanja masyarakat) Jakarta berada di atas kisaran 100. Artinya, semakin tinggi angkanya di atas 100, berarti semakin tinggi pula warga Jakarta membeli beberapa komoditi pangan dan non-pangan.
Namun, angka itu penuh ambigusitas. Penuh (maaf) pembodohan publik. BPS, dalam laporan bulanan Data Sosial Ekonomi edisi April 2011, menyebutkan bahwa garis kemiskinan di Indonesia ditetapkan bagi penduduk yang pengeluaran per kapita perbulannya adalah tidak lebih dari Rp. 211.000. Triwisaksana, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, bahkan menyebutkan, dengan hanya pengeluaran RP. 317.000 per bulan saja ada sekitar 312.000 (3,48%) penduduk  Jakarta yang pengeluaran per bulannya di bawah itu. Kalau diambil rata-rata, berarti ada sekitar 300.000 penduduk Jakarta yang penghasilan per bulannya sama dengan di bawah Rp. 300.000. Memang kecil secara presentase kemiskinan, tapi sangat besar kebohongan yang dihasilkan dari presentase tersebut, ”Bisa beli apa dengan pengeluaran hanya Rp. 300.000 di Jakarta tersebut?
Itu baru dari sisi ekonomi. Mari, kita buka sisi lainnya dari kesejahteraan: pendidikan. Djan Faridz, sebelum menjadi Menpera RI, dengan mengutip dari BPS di tahun 2011, menyebutkan bahwa penduduk Jakarta yang berpendidikan akhir SLTP sebanyak 50,57 % dan SLTA sebanyak 35,78 %. Bahkan penduduk yang berpendidikan tinggi (diploma atau sarjana) hanya mampu terserap 894.010 (20,01 %). Oleh karena itu, wajar jika angkatan kerja, menurut Dimas dan Nenik Woyanti (Peneliti Undip) di salah satu hasil penelitiannya tahun 2009, bahwa angkatan kerja di DKI Jakarta lebih besar daripada jumlah kesempatan kerja. Namun, angkatan kerja ini adalah angkatan kerja dimana para pencari kerjanya dengan tingkat pendidikan tertentu yang mayoritas tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Inilah rumitnya. Jumlah lulusan Diploma atau Sarjana masih sangat minim, sebagian besar lulusan SD dan SMP, padahal dunia kerja membutuhkan kualifikasi memadai untuk bisa memenuhi pangsa pasar pekerjaan. Jika gelombang rendahnya kualitas penduduk Jakarta ini tetap tertahankan, maka konsekuensinya hanya dua: banyak menyerap classified people dari luar Jakarta, yang itu berarti akan kian menambah jumlah penduduk Jakarta; atau menggantikan para unclassified people of Jakarta tersebut dengan belanja modal berupa pembelian mesin dan peralatan canggih lainnya. Pelik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar